KERAJAAN
Sejarah Singasari dan Majapahit Masih Diliputi Mitos
Sejarah Singasari, Majapahit, Blambangan, dan sejarah kedaerahan lainnya di Indonesia masih didominasi oleh mitos dan bukan sejarah dalam artian sesungguhnya.
“Munculnya mitos dalam sejarah itu terlihat dari adanya kejadian yang selalu dikaitkan dengan kepercayaan,” kata Sri Margana dari The Institute for the History of European Expansion (IGEER) University of Leiden, The Netherland, di Surabaya, Jumat.
Ia mengemukakan hal itu saat menjadi pembicara dalam Studium Generale Sejarah Jawa Timur Abad 17-19 di Fakultas Sastra (FS) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
“Di masyarakat tampaknya terdapat kesalahpahaman mengenal sejarah daerah masing-masing dan ironisnya hal itu sudah berlangsung cukup lama, bahkan turun temurun,” katanya.
Ia mencontohkan cerita mistis Macan Putih di Banyuwangi. “Suatu ketika Bupati Samsul terkena persoalan/musibah yang cukup besar dan hal itu dikaitkan dengan mitos macan putih, sehingga bupati meminta sekretarisnya untuk menghancurkan macan putih yang berada di depan gerbang masuk Banyuwangi,” katanya.
Selain itu, dirinya juga pernah mendatangi daerah Tawangalun. “Saya sempat tanya sejarah Tawangalun kepada juru kunci dan saya sangat heran atas penjelasan juru kunci yang salah dan ketika saya jelaskan yang sebenarnya justru dia manggut-manggut,” katanya.
Menurut kandidat doktor dari Leiden itu, kebanyakan politisi atau pejabat daerah memanfaatkan mitos itu untuk kepentingan pribadi.
“Misalnya, Kerajaan Blambangan di Abad 18. Saat itu, awal ajaran Islam masuk ke Blambangan dan pada saat yang bersamaan muncul pagebluk (musibah penyakit) yang tak kunjung sembuh,” katanya.
Hal itu, katanya, disikapi masyarakat Blambangan yang mayoritas Hindu dengan mengkaitkan dengan mitos. “Ketua adat setempat mengaitkan dengan munculnya kekuatan asing yakni ajaran Islam, sehingga masyarakat setempat mengusir para penyebar ajaran Islam,” katanya.
Padahal, kejadian itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama. “Para pendeta dan pemuka agama Blambangan tampaknya takut dengan kedatangan pemuka agama Islam dan ditakutkan akan membawa perubahan di masyarakat, sehingga dikaitkan dengan mitos agar bisa diusir,” katanya.
Namun, ajaran Islam akhirnya bisa masuk ke Blambangan berkat politik Devide et Impera (pecah belah) yang dilakukan VOC (Belanda).
“Ketika itu, perlawanan masyarakat Blambangan sangat kuat terhadap VOC, dan Belanda segera mencari akar permasalahannya dan sumber kekuatan masyarakat Blambangan. Akhirnya diketahui bahwa hal itu berasal dari bantuan masyarakat Bali, sehingga Belanda akhirnya meng-Islamkan para pendeta dan pemuka adat untuk memutus hubungan dengan Bali,” katanya.
Secara terpisah, ketua panitia Laode menambahkan kegiatan itu berangkat dari sebuah realitas akan minimnya pakar/sejarawan yang khusus menulis dan meneliti Jawa Timur, padahal Jatim memainkan peranan historis yang sangat penting dalam proses perjalanan negara ini.
“Kita mengenal Singasari, Majapahit, Raja Blambangan, dan masih banyak lainnya. Saya pikir, hal itu merupakan sebuah ajang yang sangat baik, sekaligus mempelopori kajian akan Jawa Timur yang belum banyak diungkap,” katanya.
Sejarah Majapahit di Blitar
Lelaki 70 tahun itu sedang menggali tanah untuk bahan batu bata merah di belakang rumahnya ketika menemukan tiga potongan arca tersebut. Tiga bagian arca itu ditemukan terpisah, berupa potongan kepala arca seorang dewi dan dua potong kaki.
“Di kedalaman tanah lima meter, banyak juga pecahan genting pipih dan ratusan batu bata berukuran besar. Pada awalnya saya tidak tahu kalau itu kepala arca,” kata Kasiyan.
Anang Ristiana, anggota staf Arkeologi dan Sejarah Purbakala Dinas Informasi Publik dan Pariwisata Kabupaten Blitar, mengatakan situs itu diduga terkait dengan penemuan Candi Wleri, 500 meter dari lokasi penemuan Kasiyan. “Candi Wleri kami perkirakan sebagai makam Raja Kertanegara, raja terakhir Kerajaan Singasari,” kata Anang.
Dugaan arca itu merupakan peninggalan Kerajaan Singasari dan Majapahit diperkuat dengan temuan pecahan genting pipih seperti yang banyak terdapat di Trowulan, Mojokerto. Di lokasi juga banyak ditemukan batu bolder berbentuk bulat sebesar kepalan tangan. Batu bolder itu berfungsi untuk fondasi candi.
“Kami sudah melaporkan penemuan ini ke BPPP (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) Provinsi Jawa Timur di Trowulan, Mojokerto,” kata Anang. “Kami sedang merancang anggaran untuk penggalian yang segera kami ajukan kepada Bupati.”
Penemuan bernilai tinggi ini mendorong Pemerintah Kabupaten Blitar mengalokasikan anggaran untuk proses penggalian. “Ini penemuan besar yang sangat bersejarah karena menyangkut sejarah bangsa,” kata Nursihab, Kepala Seksi Sejarah dan Purbakala Dinas Informasi Publik dan Pariwisata Pemerintah Kabupaten Blitar. “Sayang jika tidak digali untuk mengetahui lebih jauh apa yang terdapat di bawah tanah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar